Tujuan kumpulan puisi online PBKS ini diwujudkan adalah untuk memartabatkan bahasa melayu kebangsaan dan bahasa nusantara di samping mengeratkan silaturrahim dan ukhuwah dalam dunia penulisan melayu nusantara di maya.Salam persaudaraan serumpun buat semua.

Pihak kami sangat menghargai karya-karya yang dikongsikan di sini. Oleh yang demikian,sebarang pengeluaran semula karya haruslah merujuk dan mendapat keizinan pihak admin terlebih dahulu.

Surat


Di luar hujan gerimis. Gerimis bercampur angin yang menyayat kulit. Aku berharap, musim dingin tahun depan aku sudah tak berada di sini lagi. Kaupasti tahu kan keinginanku ini. Tapi kini aku tak pasti ingin terus di sini atau berkelana di daerah lain. Aku ingat sinar nakal di matamu yang menggodaku. Sejak email pertamaku yang kauterima dulu, kautahu aku tak suka musim dingin. Terlalu menggigit, terlalu banyak membawa nuansa kesedihan dalam hidup. Apalagi jika aku mengingatimu.

Seandai kauberada di sini malam ini, mungkin kita akan menikmatinyai berdua. Menatap gerimis yang jatuh di luar jendela, menatap pepohonan kering yang dihempas angin musim dingin ini. Bercerita tentang masa depan. Bercerita tentang cinta yang tak pernah padam. Bercerita tentang hati yang tak kan pernah terpisahkan. Ah! Ini cumalah angan semu yang sering bermain di benakku.

Aku duduk di pinggir jendela sekarang. Lampu  sudah kumatikan. Aku hidupkan lilin, biar suasana malam ini lebih romantis. Gambarmu yang tersenyum itu, sudah bertahun-tahun kuletakkan di meja kecil dekat tempat tidurku. Bahkan bukan sekali dua kaumeninggalkan gambar itu dan masuk dalam imaginasi mimpiku. Terlalu berlebihankah? Cinta yang dipisahkan oleh jarak, dan diuji oleh waktu seperti yang kita bina ini, memang memerlukan lebih dari sekadar kesabaran menjalaninya.

Dari langit mula berjatuhan bunga-bunga salji yang putih bersih laksana kapas. Indah sekali. Salji turun lebih cepat dari yang kuduga. Apakah air dan salji berbeda nilainya? Apakah cinta dapat berubah nilainya sebagaimana salji berubah menjadi air? Jika kautanyakan padaku, jawapanku adalah tidak. Cintaku padamu tak pernah berubah. Tidak oleh jarak yang jauh ini. Tidak juga oleh waktu yang kejam ini. Cintaku abadi untukmu. Cinta yang tak akan pernah dapat kauukur sedalam apa. Ahh..., aku yakin kautelah tahu itu. Walaupun sejak setahun terakhir ini frekuensi   komunikasi kita sudah sangat jarang, tapi cintaku tidaklah berkurang. Aku cuba memahami bahawa kaumungkin sibuk dengan study.

Aku sejak siang tadi sudah membongkar puluhan surat-surat darimu yang rapi kusimpan sejak aku berada di sini. Surat-surat penuh kerinduan di awal perpisahan kita dulu. Suratmu yang dulu datang setiap dua minggu selain emailmu kepadaku. Suratmu yang dituliskan di atas kertas harum berwarna merah jingga dengan sepasang merpati yang bercumbu di sudut atasnya dan tulisan Endless Love yang mencerminkan cinta yang kita pelihara. Aku baca sejak siang tadi, semuanya. Jadi mohon maaf, kalau sekarang ini surat-suratmu berantakan di lantai kamarku, di atas ranjang, di meja.

Dan surat terakhir darimu, sedang kupegang. Aku tak ingin melepaskannya, kerana aku tahu kau sangat berharga bagiku. Masih dengan warna yang sama, merah jingga. masih dengan lambang yang sama, sepasang merpati yang sedang bercumbu mesra, dan tulisan Endless Love yang sama di bawahnya.

Apakah ini adalah nostalgia? Apakah ini menegaskan dan memperkuat komitmen yang kita bina? Waktu menjadi musuh yang sangat kejam dalam menguji komitmen kita. Jarak, menjadi penentu sejauh mana kita dapat bertahan menjaga harapan-harapan kita.

Di luar salji melayang turun dengan sangat lembutnya. Indah sekali. Lilin ini masih kena sedikit angin dari luar, yang menyelinap dari sela-sela daun jendela yang kubuka sedikit. Cahayanya bermain, mempermainkan bayangku. Alangkah rapuhnya sinar lilin ini. Tahukan kau filosofi lilin dalam memberikan cahaya penerang ini? Itulah filosofi para pencinta sejati. Membakar dirinya sendiri, agar dapat memberikan cahaya dan kehangatan kepada orang yang mereka cintai. Membakar diri sendiri, untuk memberikan sepercik api cinta yang sangat rapuh yang dapat saja padam setiap saat ketika ditiup angin dingin tak kenal kasihan seperti malam ini.

Dan surat terakhirmu ini..., surat yang masih berwarna sama dengan surat-suratmu yang penuh kata cinta dan rindu dulu. Warna merah jingga. Aku dulu sempat protes kan? Aku suka warna biru, kerana biru adalah keabadian, biru adalah lambang kesetiaan. Aku ingin cinta kita abadi. Tapi kausuka warna merah, yang melambangkan ghairah cinta tak pernah padam. Dan sepasang merpati itu, bukankah berarti cinta yang tak pernah ingkar janji?

Kaumemang tak ingkar janji. Kerana kaumemang tak pernah berjanji. Puluhan suratmu telah kubaca berulang, dan tak ada janji yang kautawarkan. Cintamu, memang tak pernah ingkar janji.Barangkali cuma aku yang terlalu menagih janji.

Aku termenung menatap ke luar jendela. Cinta memang tidak harus memiliki. Cintaku sedia menerima apapun yang kau berikan kepadaku.

Perlahan, aku membuka sampul. Kukeluarkan surat indah di dalamnya. Surat yang sudah dirancang dengan sangat teliti. Membukanya kembali, menatap isi yang sama seperti yang kulihat saat suratmu ini kuterima siang tadi. Perlahan aku mendekatkan surat itu pada api lilin yang bersinar lembut. Hujung kertasnya mulai menghitam dan terbakar api lilin. Aku membaca kembali tulisan di dalamnya. Tulisan berhuruf indah dan berlapis emas.


....pernikahan anak kami....

Jejaka  dengan Dara .... 



Surat terakhirmu, yang kuterima di awal musim dingin ini, adalah surat undangan pernikahanmu. Cintaku dan penantian ini telah terbakar hangus, seperti juga kertas surat merah jingga dan sepasang merpati di dalamnya yang perlahan menjadi abu dibakar api lilin yang lemah tak berdaya ini.
Musim semiku bersamamu, telah berakhir selamanya.

No comments:

Post a Comment