Tujuan kumpulan puisi online PBKS ini diwujudkan adalah untuk memartabatkan bahasa melayu kebangsaan dan bahasa nusantara di samping mengeratkan silaturrahim dan ukhuwah dalam dunia penulisan melayu nusantara di maya.Salam persaudaraan serumpun buat semua.

Pihak kami sangat menghargai karya-karya yang dikongsikan di sini. Oleh yang demikian,sebarang pengeluaran semula karya haruslah merujuk dan mendapat keizinan pihak admin terlebih dahulu.

Setelah Puisi Bersaksi, Di Manakah Posisi?

Ibarat hidangan, puisi adalah makanan lezat dan bergizi tidak perlu banyak cukup beberapa suap akan langsung kenyang dan tentunya memenuhi seluruh kebutuhan tubuh. Lain hal dengan sajian cerpen dan novel yang sememangnya berisi serangkaian kejadian yang diburaiuraikan agar memenuhi kaidah-kaidahnya masing-masing.

Memang para penggiat dan penikmat puisi tak sebanyak cerpen dan novel namun bagaimana pun puisi memiliki keunggulan yang tak terelakkan, dengan membaca puisi satu bait contohnya, kita bisa menemukan banyak hal dari sebuah rasa, keadaan, kenyataan dan mimpi, hanya dari satu bait puisi (saja). Karena pengolahan puisi dilakukan dengan pemadatan kata yang benar-benar dipertimbangkan masak-masak, pemotongan kalimat yang amat hati-hati, tak hanya racikan bumbu, asupan gizi bahkan hal tampilan sekali pun dilakukan dengan sebaik-baiknya dan direnungkan sedalam-dalamnya sehingga masuk dalam wajan diri dan diolah dengan ruh utuh dan tersajikan penuh rengkuh. Tentu bukan tanpa masalah, karena ternyata tidak semua orang sanggup menangkap symbol-simbol yang disematkan dalam puisi, sehingga acap kali saya dapati pernyataan “Puisi bikin pusing, gw enggak ngerti!” dan naasnya berhenti sampai di sana.

Ketidakmauan pembaca menggali symbol-simbol inilah yang membuat perkembangan puisi di tanah air jadi cukup lambat, bahkan penghargaan terhadap penyair tak lagi diperhatikan walau penyair tak ingin dihargai paling tidak mendapatkan tempat yang layak dan tepat. Karena jika merunut sejarah banyak puisi yang telah menjadi saksi keberadaan manusia, menjadi cerminan zaman dan menjadi pengetahuan tentang keadaan pada masanya.

Saya ambil contoh puisi-puisi Chairil Anwar yang menampakkan keadaan yang begitu keras,  seperti puisi “KARAWANG BEKASI” terlepas dari anggapan-anggapan yang bersinggungan, puisi itu sanggup memberikan gambaran betapa pada masa hidup CA Negara dalam keadaan terancam pun CA mengambil peranan dengan meletupkan semangat juang untuk mempertahankannya. Hal ini nampak dari puisi yang saya kutip berikut ini:

“Teruskan, teruskan jiwa kami Menjaga Bung Karno menjaga Bung Hatta menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat Berikan kami arti Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian”

Selain itu setiap kali membaca puisi-puisi Chairil Anwar, ada nada-nada suram seperti puisi “PENERIMAAN” kalimat “Sedangkan pada cermin aku enggan berbagi” selain sebagai penutup puisi di sinilah nada muram itu sungguh lekat terasa. Serta lompatan-lompatan imaji yang kerap disajikan CA menambah keyakinan saya bahwa pada masa itu tengah terjadi sebuah goncangan baik secara personal mau pun umum. Walau dalam puisi “AKU” yang kerap saya baca dalam ajang lomba baca puisi semenjak SD hingga SMA nampak menyala-nyala bahkan menyalak dan bikin pendengarnya tersedak tetap saja ada nada-nada muram itu :


AKU

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943


“Dan aku akan lebih tidak peduli lagi/Aku mau hidup seribu tahun tahun lagi” pada penutup puisinya CA selalu membuat kejutan-kejutan dan saya mensinyalir kehidupan pada masa CA memang penuh dengan kejutan walau kejutan itu terasa kecut atau bisa jadi karena kehidupan yang bohemian?

Atau puisi-puisi Soe Hok Gie yang bernadakan cinta namun dalam nada-nada cinta yang begitu lembut, Gie bisa menelusupkan satire yang begitu getir. Soe Hok Gie yang mati lantaran zat beracun di gunung sumeru mendapatkan perhatian yang cukup besar tidak hanya kalangan pecinta puisi namun namanya sangat harum di kalangan aktivis mahasiswa. Pun saya sangat apresiatif dan termotivasi walau pada saat ini aktivis mahasiswa terkurung dalam cengkeraman penguasa dan lebih tergiur oleh kedudukan dan uang. (Curhat Colongan) Salah satu puisi terakhirnya Gie sanggup mengkritisi nurani dengan sajian puisi yang manis.


Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah, 
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di wiraza, 
Tapi aku ingin menghabiskan waktuku disisimu sayangku 
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu 
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mandala wangi 

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang 
Ada bayi-bayi yang lapar di Biafra 
Tapi aku ingin mati disisi mu manisku 

Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya 
Tentang tujuan hidup yang tidak satu setan pun tahu 
Mari sini sayangku 
Kalian yang pernah mesra yang pernah baik dan simpati padaku 
Tegaklah ke langit luas atau awan yang menang 

Kita tak pernah menanamkan apa-apa 
Kita takkan pernah kehilangan apa-apa 

Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahir 
Yang kedua dilahirkan tapi mati muda 
Dan yang tersial adalah berumur tua 

Berbahagialah mereka yang mati muda 
Mahluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada 
Berbahagialah dalam ketiadaanmu 

Jelas terasa getir hidup dalam ketidakadilan. Jika dikaji lebih mendalam lagi, melaui puisi ini (saja) kita sudah dapat gambaran atau bahkan dapat turut merasakan keadaan pada masa itu. Bahkan banyak aktivis mahasiswa di Banten sangat mengidolakan sosoknya begitu pun di BEMNUS (Persatuan Badan Eksekutif Mahasiswa Nusantara) disaat mengadakan pertemuan puisi-puisi Gie kerap dibacakan.


Juga pada sajak-sajak Wiji Thukul yang keberadaan penyairnya hingga saat ini masih dipertanyakan. Antara hidup dan mati tak ada yang dapat memastikan keberadaannya. Puisi-puisi Wiji Tukhul sangat sarat perlawanan dengan gaya bahasa yang lugas keras dan tegas. Tak aneh jika pada akhirnya Wiji Thukul disinyalir diculik dan dibuang kepengasingan oleh penguasa pada masa itu. Puisi “PERINGATAN” contohnya, kata “LAWAN” jadi kata wajib setiap kali aktivis mahasiswa melakukan aksi turun jalan sebagai seruan bagi kawan-kawannya agar tidak mundur pulang sebelum mendapatkan kemenangan. Jika diikatkaitkan dengan sejarah, pada periode 1996-1998, sejarah mencatat terjadi banyak kasus penculikan terhadap para aktivis demokrasi yang akhirnya diketahui bahwa salah satu tim penculikan adalam Tim Mawar yang dipimpin oleh seseorang yang dikenal saat ini adalah…. (Ketua Umum Gerindra). Sebagian diketahui meninggal, sebagian sudah dilepas kembali, dan sebagian statusnya tidak diketahui. Jelas dapat diambil benang merah dan dapat diamini bahwa puisi-puisi WT ditulis dalam pelarian dan persembunyian dan gambaran apa yang dapat ditangkap dari puisi-puisi WT? adalah masa pemerintaha Orde Baru yang amat otoriter dan bengis (Semoga diampuni dosa-dosanya). Dan kepada penyair mari kita baca puisi ini :

Penyair

jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang
jika tak ada kertas aku
akan menulis pada dinding
jika aku menulis dilarang
aku akan menulis
dengan tetes darah!

sarang jagat teater
19 januari 1988

Apa yang dapat kawan-kawan simpulkan? Simpanlah dalam hati masing-masing pun saya akan menyimpan kesimpulan puisi ini dalam dalam di kedalaman hati.


Lantas bagaimana dengan puisi-puisi Rendra? Sajak-sajak Rendra yang menyuarakan kebebasan suara hati karena pembungkaman oleh pemerintahan Orde Baru. Membuat namanya kian berkibar di belantikan perpuisian Indonesia gaya balada dan pamphlet jadi hal yang asyik untuk ditelisik dengan gaya bahasa yang keras Rendra sanggup merangkum keadaan demi keadaan sehingga puisi benar-benar mampu menjadi saksi yang sexy (Meminjam kata Abah DAM). Untuk contoh puisi Rendra dapat dengan mudah ditemukan di Google atau di blog.

Dari kenyataan demi kenyataan yang saya paparkan, akan betapa kuatnya pengaruh penyair, bukankah semestinya puisi dan penyair ditempatkan pada tempat yang  layak? Paling tidak layak di hati pembaca, bukan sebaliknya puisi dikata basi, lantaran ketidaksanggupan dan ketidakmauan masyarakat mendalami puisi. Hal ini bisa jadi lantaran masyarakat Indonesia lebih suka yang dangkal-dangkal (Percaya?).

Demikianlah esai ini saya tulis ala kadarnya, menguak keberadaan puisi dan penyair. Walau tak seluruh sisi saya kupas, lantaran waktu yang dipunya tak cukup banyak. Semoga ini bisa jadi cerminan dan memberi manfaat paling tidak bagi saya sendiri.

Salam Sayang Selalu

Cilegon-Banten
05-06-2012

No comments:

Post a Comment