Tujuan kumpulan puisi online PBKS ini diwujudkan adalah untuk memartabatkan bahasa melayu kebangsaan dan bahasa nusantara di samping mengeratkan silaturrahim dan ukhuwah dalam dunia penulisan melayu nusantara di maya.Salam persaudaraan serumpun buat semua.

Pihak kami sangat menghargai karya-karya yang dikongsikan di sini. Oleh yang demikian,sebarang pengeluaran semula karya haruslah merujuk dan mendapat keizinan pihak admin terlebih dahulu.

Bintang Dan Kamu


Telefon berbunyi, dan ini sudah ketiga kalinya, sedikit kesal kaututup dengan makian kecil. Dari balik koridor aku tertawa, bagiku itu kejadian yang lucu, kerana dirimu yang tak pernah memaki kali ini memaki seseorang.

"Salah nombor, konon! Tak kan sampai tiga kali, dari tadi duk tanya room service, ingat hotel ke rumah kita?"

“Dia mahu ngorat abang kot,”  aku memancing gurauan.

“Mau kena belasah dengan isteri abang yang kuat cemburu tu,”

Aku mencebik.
Kita sama-sama tertawa.

kaukembali memegang gitar, melanjutkan lagi petikannya. Lagu Kameelia. Aku kini sudah siap menyidai kain, mendengarkan apa saja lagu dari petikan gitarmu tetap saja merdu di teligaku. Kaumenggamitku, isyarat duduk di sebelahmu.

"kenapa sayang cinta abang?"  Tanyamu entah ke berapa juta kali. Kausibak rambutku yang berjuntai menutupi sebahagian pipiku ke belakang, menjelaskan wajahku seutuhnya dalam tatapanmu. Aku langsung menyandarkan kepala ke bahumu meruapkan nuansa nyaman.

"Abang sendiri, kenapa cinta Bintang?"

"Hmmm....."

"Apa ek…"

"hmmm…"

"hmmm…"

Jawapanmu dan jawapanku adalah sama, kerana kita sama-sama tidak dapat mengungkapkannya dengan kata atau kalimah apapun. Tapi selalu saja kita melewatinya setiap hari. Apa saja kamu lakukan, aku lakukan seolah kita lakukannya bersama dan kita bahagia begitu. Bahkan ciuman di koridor, sudut dapur, malah di susur perjalanan ke rumah kita pun sering kita lakukan.

Hujan hari ini, membuat garis-garis embun di kaca jendela. Bila hujan tiba dunia menjadi basah dan lembab, begitu pula dengan rasa, sejuk dan pekat. Suara hujan begitu khas ketika juntai-juntai air beradu dengan daun, dengan pohon, dengan atap, ataupun dengan aliran jalan aspal. Bau tanah menguap ke angkasa, saat seperti berada sangat dekat dengan kehidupan.

kausuka duduk setengah berjongkok di teras, menikmati titis jatuhnya air. Kadang terdiam sepanjang waktu itu sambil memelukku. Kadang kausangat serius mengamati halaman-halaman buku tebal yang tak kumengerti isinya. Namun aku tetap kau inginkan dekat denganmu, meski akhirnya tertidur pulas di ribaanmu.

                                                                 *****

Hari ini aku jadi merindukanmu, ketika aku berada dalam sebuah teksi yang berjalan merayap di antara kenderaan mewah yang juga merayap. Sendat, asap, panas, dan sesak, bersama puluhan wajah-wajah kuyu berkeringat liat. Terasa ingin aku melompat dan terbang secepat mungkin keluar dari kesesakan ini. Aku sering marah-marah dengan diriku mengapa aku harus diperbudak dengan kekalutan ini.

"Ahhh… kota ini sangat kejam, tidak berperikemanusian! " keluh aku suatu hari. "Kita pindah saja dari kota kejam ini, Bintang tak tahan! Macam mati separuh rasanya"

Keningmu berkerut, kau tatap mataku.

"Hmmm... mati??"

"Iya, mati separuh"

"Apanya yang mati?"

"hidup!"

"Ada pulak. Sayang kan ok saja, masih boleh jalan, masih boleh makan, minum.. dan yang penting masih boleh bercinta dengan abang, tidur berpeluk bersama, apanya yang mati?”

" Social life Bintang yang mati!"

"Oh ya?"

"Iya, bayangkan, berapa kali kita di sini bertemu orang? Berapa kali kita dapat menyapa mereka? Berapa kali kita dapat duduk bersama teman atau jiran kita sambil menikmati secangkir teh atau kopi? berapa kali, abang?"

"Hmm... berapa ya, sayang?"

"Tidak pernah…!"

"Hmmm... habis tu?"

"Iya, itulah yang Bintang maksud mati separuh."

"Lalu yang separuh lagi? Masih hidup kan?"

"Masih"

"Haa, masih kan?"

"Abang niiii… !"

Lalu kauhanya memelukku mencuba menenangkan diriku dalam rasa marahku, kaumengusap rambutku, mengucup bertalu bibirku sehingga betah bicaraku kian diam dan senyap. Sehingga aku rasakan separuh yang mati itu hidup kembali. Dan aku kembali bersemangat. 


                                                               *****


"Inilah hidup,"  Katamu suatu hari sambil kaumeneguk espresso di cangkir warna jingga yang tidak sengaja aku beli dari seorang lelaki tua pemilik kedai barang porselin di pinggir pasar. Entah mengapa cangkir itu sangat menarik walupun warnanya telah kusam.

"Tidak ada yang dapat luput dari keharusan untuk hidup. Mengapa orang harus bergelut tiap hari, terjebak dalam jem yang panjang, dikongkong dalam ruang pejabat yang dingin. Demikiankah mungkin orang memaknai hidup"

"Haa.. betul kan, abang? Abang sendiri sering mengeluh kerana banyak kerja menompok hingga kita tidak boleh berjalan-jalan lagi menikmati pantai yang indah, atau sekadar lepak di warung sate pakcik hujung jalan sana atau menikmati juadah bakar makcik seberang jalan rumah kita, kerana kesibukan kita?"

"Ya, itulah hidup"

"Ya, itulah kita"

"Ya, begitulah”

"Lalu bagiamnakah dengan mimpi?"

"Mimpi?"

"Iya, mimpi kita!"

"Mimpi apa?"

“Anak.”

“Anak?”

Dan tanpa memberi jawapan, kaumeluru memelukku, menggendongku ke kamar.


                                                                *****

Tidak terasa kaumulai berbicara panjang sekali, dan tatapanku tak pernah lepas dari wajahmu, setiap kata, setiap kalimat, aku dengar penuh anggukan. Kauceritakan tentang masa kecilmu yang agak degil, lucu, dan kuat bermain. Tentang sawah bendang dan kerbau, tentang kampung yang sering buat aku rindu dan cemburu. Sehingga kausedari saat ini. Seperti ini, kita telah berdua. Tak terasa kita sama-sama menghitung hari-hari yang telah kita lalui. Kita bahagia di mana saja kita kerana kita tidak pernah menjadi orang lain. Sudah berapa tempat, berapa kota, berapa pulau kita singgah kita tak pernah henti bercerita tentang laluan hidup manusia.

“kehidupan di sini sangat kotor!”  kataku suatu hari

"tidak boleh sayang berkata begitu"

"kenapa pula?"

"Tidakkah sayang tahu, banyak yang kotor di dunia ini. Banyak hal, bahkan bangunan bertingkat tinggi itu, yang setiap hari memberi kita rezeki, itu juga dibangun dari perkara yang tak jauh dari kotornya"

Aku terdiam. Barangkali benar dunia ini kian hampir dengan kiamat. Kau seperti enggan memberi aku ruang berfikir lebih jauh lalu meraih pinggangku mendekap erat ke tubuhmu. Kutatap matamu yang bening. Sedang jejarimu mendongak daguku dan berkata;  “Sayang, yang penting hidup kita bersih jauh dari anasir kekotoran. Dan yang paling penting kita benci akan kekotoran dan nista. Berusaha memaknai hidup harum dengan kasih Tuhan. Kerana hidup tiada erti tanpa kasih-Nya”

Aku memandangmu dengan harum cinta.

No comments:

Post a Comment